MADRASAH IBTIDAIYAH (MI) MA'ARIF KEJI BERWAWASAN GLOBAL BERAKHLAQ SALAFY VISI TERWUJUDNYA GENERASI YANG BERTAQWA KEPADA ALLAH SWT. UNGGUL DALAM ILMU, KREATIF DAN BERBUDAYA Semangat Perjuangan Anak-anak Bangsa di Dunia Tanpa Suara - MI KEJI
Headlines News :
Home » » Semangat Perjuangan Anak-anak Bangsa di Dunia Tanpa Suara

Semangat Perjuangan Anak-anak Bangsa di Dunia Tanpa Suara

Written By Madrasah Ibtidaiyah Ma'arif Desa Keji on Minggu, 02 Maret 2014 | 19.33



Semangat Perjuangan Anak-anak Bangsa di Dunia Tanpa Suara

Banyak sekali orang mengira tunarungu itu tidak bisa apa-apa. Padahal mereka punya keahlian lebih yang mereka punya dibandingkan dengan orang yang normal. Keahlian yang lebih itulah yang membantu mereka untuk bias sempurna seperti kita pada umumnya. Para tunarungu mereka tidak bias mendengar, tapi bias memperoleh informasi dari gambar, gerakan, dan tulisan. Mereka hanya berbeda dalam pendengaran saja, kata Panji Surya Putra (20) yang kehilangan pendengaran sejak dia lahir.
            Putra dari artis Dewi Yull ini dia mempunyai keterbatasan dalam berkomunikasi yaitu tidak berfungsinya pendengarannya. Dari kesehariannya di masyarakat banyak yang mengira bahwa Panji Surya Putra bias mendengar layaknya orang yang bukan penyandang tunarungu. Kesan itu muncul karena panji bias berkomunikasi lancer layaknya orang biasa yang memiliki pendengaran yang normal. Untuk menghadapi kehidupan masyarakat panji dan kawan-kawan para penyandang tunarungu harus berjuang keras. Sekarang Panji bergerak sebagai aktivis penyandang tunarungu yang giat menyosialisasikan bahasa isyarat alami bagi masyarakat umum. Ia beberapa kali di undang sebagai pembicara tentang dunia tunarungu di Universitas Indonesia dan Universitas Islam Negeri Jakarta. Ia pernah mendapat good Medallion pada kompetisi teknologi informasi bagi penyandang difabel di Bangkok, Thailand, Oktober 2013. Beberapa hari dia membuat artikel bertema go green berbahasa Inggris. Dengan ketekunan, kesabaran, dan ketabahan dia ingin merubah pandangan masyarakat umum bahwa kaum tunarungu itu tidak bias apa-apa. Mereka tidak bias mendengar, tapi memperoleh informasi dari gambar, gerakan, dan tulisan. Dengan penuh semangat kini Panji menjalani pendidikan homeschooling kak Seto kelas XII. Pada jenjang TK Panji menjalaninya selama lima tahun. Tiga tahun di TK umum dan dua tahun di TK luar biasa. Karena dia tidak memenuhi syarat untuk masuk SD umum dia kemudian lanjut ke SDLB Pangudi Luhur. Di SDLB yang seharusnya ditempuh delapan tahun terbukti dia bias hanya enam tahun. Kemudian dia melanjutkan ke jenjang SMP umum yang kebanyakan teman-temannya tidak tahu kalau dia tunarungu. Dalam menghadapi kesulitan disekolah dia meminjam buku catatan teman-teman dia.
            Selepas SMP Panji mengambil jalur pendidikan homeschooling. Menurut panji, akses yang terpenting dalam pendidikan yang dibutuhkan tunarungu adalah kelengkapan bahasa isyarat sebagai pengantar, penerjemah bahasa isyarat serta notetaker. Panji pun bermimpi ingin membuka sekolah tuli bertaraf internasioanl serta universitas khusus tuli di Indonesia.
            Semangat yang pantang menyerah yang perlu dicontoh anak-anak sekarang adalah salah satu siswi (SDLB) Santi Rama, Cipete Selatan, Jakarta, dia lancer berkomunikasi dan mempunyai kepercayaan diri sangat tinggi. Dia berkomunikasi dengan membaca bibir dan dengan menggunakan bahasa isyarat. Putri dari pasangan Meiky Kurniawan dan Dian Novita Nangoi yang juga sama-sama tunarungu mengharuskan berkomunikasi dengan membaca bibir dan agar sanggup berbaur dengan masyarakat. Rania yang mempunyai bapak seorang penjahit oleh bapaknya dia diwajibkan mengikuti kursus bahasa Inggris. Orangtuanya dulu juga sempat mengecap pendidikan khusus tunarungu dari usia dini hingga SMALB sejak 1970. Selain orang tua dari Rania guru IPA SMALB Santi Rama Dimyati Hakim, yang juga tunarungu pernah beberapa kali menjuarai lomba mengarang tingkat nasional dan mengalahkan guru-gur yang bisa mendengar. Sempat juga mempunyai pengalaman menjabat sebagai Ketua Umum Gerkatin (Gerakan Untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia). Dimyati tetap aktif memperjuangkan hak penyandang tunarungu.
            Perjuangan yang mereka hadapi tidak selalu mulus. Seperti pengalaman yang dialami oleh Nathania Tifafa Sjarief “(25). Ia kehilangan pendengaran karena terkena radang selaput otak pada usianya 2,5 tahun. Orangtuanya langsung bertindang memasang alat pendengar atau cochlear untuk membantu dia agar bisa mendengar. Namun, pada saat itu dia belum bisa langsung medengar. Pernah beberapa kali dia ditolak ketika mendaftarkan diri ke sekolah umum. Kemudian ibunya Keren Tambayong (58) bersiasat merahasiakan kekurangannya agar bisa masuk ke sekolah umum. Thania “sering kali terkena ancaman dikeluarkan dari sekolah setiap kenaikan kelas, pernah juga dia tidak punya teman”Ujar Thania. Kemudian Tania berangsur mulai bisa menyusun kalimat dan juga bisa berbicara dengan lancer. Disekolah dia bergabung dengan organisasi di sekolahnya dan dia menjadi anak berprestasi. Thania melanjutkan ke perguruan tinggi dan lulus dengan cum laude dari jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Pelita Harapan. Kini Thania melanjutkan ke jenjang S-2 dan juga telah menulis buku berjudul “It takes a village to raise a child”. Semua lingkungan harus mendukung demi keberhasilan anak tunarungu kata Karen. “Anak tunarungu hanya membutuhkan kesempatan bukan belas kasihan”kata hellen Keller (1880-1968) yang termasuk pendidik sekaligus aktivis tunarungu.
 

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Popular Posts

LANGUAGE

logo

logo

Statistik blog

 
Support : Creating Website | Mi Ma'arif Keji | Mi Ma'arif Keji
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. MI KEJI - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mi Ma'arif Keji