Semangat
Perjuangan Anak-anak Bangsa di Dunia Tanpa Suara
Banyak sekali orang mengira
tunarungu itu tidak bisa apa-apa. Padahal mereka punya keahlian lebih yang
mereka punya dibandingkan dengan orang yang normal. Keahlian yang lebih itulah
yang membantu mereka untuk bias sempurna seperti kita pada umumnya. Para
tunarungu mereka tidak bias mendengar, tapi bias memperoleh informasi dari
gambar, gerakan, dan tulisan. Mereka hanya berbeda dalam pendengaran saja, kata
Panji Surya Putra (20) yang kehilangan pendengaran sejak dia lahir.
Putra
dari artis Dewi Yull ini dia mempunyai keterbatasan dalam berkomunikasi yaitu
tidak berfungsinya pendengarannya. Dari kesehariannya di masyarakat banyak yang
mengira bahwa Panji Surya Putra bias mendengar layaknya orang yang bukan penyandang
tunarungu. Kesan itu muncul karena panji bias berkomunikasi lancer layaknya
orang biasa yang memiliki pendengaran yang normal. Untuk menghadapi kehidupan
masyarakat panji dan kawan-kawan para penyandang tunarungu harus berjuang keras.
Sekarang Panji bergerak sebagai aktivis penyandang tunarungu yang giat
menyosialisasikan bahasa isyarat alami bagi masyarakat umum. Ia beberapa kali
di undang sebagai pembicara tentang dunia tunarungu di Universitas Indonesia
dan Universitas Islam Negeri Jakarta. Ia pernah mendapat good Medallion pada
kompetisi teknologi informasi bagi penyandang difabel di Bangkok, Thailand,
Oktober 2013. Beberapa hari dia membuat artikel bertema go green
berbahasa Inggris. Dengan ketekunan, kesabaran, dan ketabahan dia ingin merubah
pandangan masyarakat umum bahwa kaum tunarungu itu tidak bias apa-apa. Mereka tidak
bias mendengar, tapi memperoleh informasi dari gambar, gerakan, dan tulisan. Dengan
penuh semangat kini Panji menjalani pendidikan homeschooling kak Seto
kelas XII. Pada jenjang TK Panji menjalaninya selama lima tahun. Tiga tahun di
TK umum dan dua tahun di TK luar biasa. Karena dia tidak memenuhi syarat untuk
masuk SD umum dia kemudian lanjut ke SDLB Pangudi Luhur. Di SDLB yang seharusnya
ditempuh delapan tahun terbukti dia bias hanya enam tahun. Kemudian dia melanjutkan
ke jenjang SMP umum yang kebanyakan teman-temannya tidak tahu kalau dia
tunarungu. Dalam menghadapi kesulitan disekolah dia meminjam buku catatan
teman-teman dia.
Selepas
SMP Panji mengambil jalur pendidikan homeschooling. Menurut panji, akses
yang terpenting dalam pendidikan yang dibutuhkan tunarungu adalah kelengkapan
bahasa isyarat sebagai pengantar, penerjemah bahasa isyarat serta notetaker.
Panji pun bermimpi ingin membuka sekolah tuli bertaraf internasioanl serta
universitas khusus tuli di Indonesia.
Semangat
yang pantang menyerah yang perlu dicontoh anak-anak sekarang adalah salah satu
siswi (SDLB) Santi Rama, Cipete Selatan, Jakarta, dia lancer berkomunikasi dan mempunyai
kepercayaan diri sangat tinggi. Dia berkomunikasi dengan membaca bibir dan
dengan menggunakan bahasa isyarat. Putri dari pasangan Meiky Kurniawan dan Dian
Novita Nangoi yang juga sama-sama tunarungu mengharuskan berkomunikasi dengan
membaca bibir dan agar sanggup berbaur dengan masyarakat. Rania yang mempunyai
bapak seorang penjahit oleh bapaknya dia diwajibkan mengikuti kursus bahasa
Inggris. Orangtuanya dulu juga sempat mengecap pendidikan khusus tunarungu dari
usia dini hingga SMALB sejak 1970. Selain orang tua dari Rania guru IPA SMALB
Santi Rama Dimyati Hakim, yang juga tunarungu pernah beberapa kali menjuarai
lomba mengarang tingkat nasional dan mengalahkan guru-gur yang bisa mendengar.
Sempat juga mempunyai pengalaman menjabat sebagai Ketua Umum Gerkatin (Gerakan
Untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia). Dimyati tetap aktif memperjuangkan
hak penyandang tunarungu.
Perjuangan
yang mereka hadapi tidak selalu mulus. Seperti pengalaman yang dialami oleh
Nathania Tifafa Sjarief “(25). Ia kehilangan pendengaran karena terkena radang
selaput otak pada usianya 2,5 tahun. Orangtuanya langsung bertindang memasang
alat pendengar atau cochlear untuk membantu dia agar bisa mendengar. Namun,
pada saat itu dia belum bisa langsung medengar. Pernah beberapa kali dia
ditolak ketika mendaftarkan diri ke sekolah umum. Kemudian ibunya Keren
Tambayong (58) bersiasat merahasiakan kekurangannya agar bisa masuk ke sekolah
umum. Thania “sering kali terkena ancaman dikeluarkan dari sekolah setiap
kenaikan kelas, pernah juga dia tidak punya teman”Ujar Thania. Kemudian Tania berangsur
mulai bisa menyusun kalimat dan juga bisa berbicara dengan lancer. Disekolah
dia bergabung dengan organisasi di sekolahnya dan dia menjadi anak berprestasi.
Thania melanjutkan ke perguruan tinggi dan lulus dengan cum laude dari
jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Pelita Harapan. Kini Thania
melanjutkan ke jenjang S-2 dan juga telah menulis buku berjudul “It takes a
village to raise a child”. Semua lingkungan harus mendukung demi keberhasilan
anak tunarungu kata Karen. “Anak tunarungu hanya membutuhkan kesempatan bukan
belas kasihan”kata hellen Keller (1880-1968) yang termasuk pendidik sekaligus
aktivis tunarungu.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !